Minggu, 25 Maret 2012

EUFORIA SESETAN HERITAGE Omed – Omedan, Tradisi Masal Pasca Nyepi



Sebuah tradisi yang unik telah mendarah daging di Banjar Kaja Sesetan . Omed – omedan . Bila perayaan Nyepi telah usai, kesesokan harinya kita dapat melihat tradisi satu – satunya di dunia. Bertepatan pada perayaan Ngembak Geni, warga Br. Kaja Sesetan, khusunya truna – truninya menggelar perhelatan berpelukan masal, tepatnya tengah jalan raya depan bale banjar. Dalam Kamus Bali-Indonesia, omed-omedan berarti tarik-menarik. Tradisi ini berlangsung setiap tahun, di mualai sejak abad ke- yang berasal dari Puri Oka Sesetan. Pemuda-pemudi mulai dari umur 17 tahun hingga 30 tahun atau yang sudah menginjak dewasa tetapi belum menikah. Prosesi omed-omedan dimulai dengan persembahyangan bersama antarpeserta omed-omedan di pura banjar untuk memohon keselamatan dan kelancaran selama berlangsungnya acara. Seusai sembahyang, peserta dibagi 2 kelompok, pria dan wanita. Sekitar 50 pemuda berhadapan dengan 50 pemudi. Setelah ada aba-aba dari para sesepuh desa, kedua kelompok saling bertemu satu sama lain dan peserta terdepan saling berpelukan, tetapi tak jarang tampak berciuman di depan ribuan penonton yang memadati sekitar lokasi omed-omedan. Prosesi tersebut dilakukan secara bergantian dan setiap peserta pria ataupun wanita menunjuk salah seorang rekan mereka untuk beradu ciuman di barisan terdepan.
 I Gusti Oka Putra atau  akrab disapa Ngurah Bima, selaku mantan bendesa adat mempertegas bahwa tradisi ini bukan bercium-ciuman, sejatinya adalah berpeluk – pelukan antara pemuda pemudi yang dimana bertujuan untuk meningkatkan silaturahmi. Bilamana didalam pelaksanaannya tidak sengaja terjadi demikian, itu sahsah saja. Karena, ajang bersilahturahmi tidak hanya dengan bersalaman, menyapa, melainkan dapat dengan berpelukan.
bilamana tradisi ini ditiadakan, kemungkinan besar terjadi beberapa kejanggalan. Seperti beberpa tahun lalu. “ Lakukanlah dengan benar, tanpa mencoreng makna dari tradisi ini, tidak berdasarkan nafsu atau minum – minuman keras, karena pada saat ini Omed – omedan telah mendapat bantuan dari pemerintah, dan dimeriahkan oleh stand – stand, bintang tamu, serta tentunya antusias masyrakat, menyaksikan event unik ini.” Tutur Ngurah Bima menyampaikan pesannya.

Sabtu, 11 Februari 2012

Ratu Malam


“Biarkan aku tersandung dalam bulan, bergelut mesra pada malam,
berdesah malu dengan peluk dingin. Katakanlah aku penakluk malam”

            Air jernih sayup tercemar dialiran hidupnya
            Tiada kata setia, sakit, tersakiti, atau tangis
            Hasrat jiwa sesat terpuas nafsu birahi
            Menyerongkan fana dalam sepercik gerak
Si Belang merayap datang
Mengibas ekornya terjingkat rupa sang ratu
Hamburkan kertas merah, layangkan gombal jamahlah malam
            Dosakah ia?  kerja hiburan bak artis horor ?
            Mengabdikan seluruh jiwa raga demi orang ‘miskin’ ?
            Tergelatak mengorbankan seluruh keindahan, dalam nikmat
Siapa salah? Ataukah tiada benar?
Derajat anjing kintamani tak ibasnya seekor belang
Lalu derajat siapakah yang mati?
Penikmat? Ataukah Sang Ratu Malam?
            Baik makna, robek hati menyerutu diasapnya-
            “Aku hanyalah kepulan asap, sesaat sesat sesaat indah, akulah pemberi sedekah kepada fakir miskin berdasi dan jas hitam itu, belang ekornya aku rawat dengan sentuhan obat pemanas”
           




DEKLARASI KEMERDEKAAN “DEWI-DEWI” -Terlahir dengan keterpurukan-


Melambai nyiur, udara menghempas bebas direlung malam
Jiwa berdetak kagum, Dewi melenggokan pinggulnya
Terurai rambut hitam legam, bibir merah, sepatu tinggi
Jajakan kemerdekaan, kepada mulut penghisap darah
            Kumandangkan intelektualitas mu !
            Kobarkan ilmu bahana tentang jurus jurus setan mabuk
            Hanyutkanlah dalam arak, bersulang emas berlian disakunya
            Rogohkan mata, dibelaian pelaminan mimpi
Bendera dikibaskan, berjuntai lagu mengalun ‘alamat palsu’
Iringin langkah bersama tembakaunya, dan para budak
Jurulkan lidah, bibir mengaga, gigi gerondong ingin mencicipi bulatan dewi
            Haram dia, suram dia, malang ia, manis ia,
            Teriakan suara mu – Dewi !
            Berontak seluruh kekangan
            Tembak peluru bius mu
            Jangan takut, sebab tubuh mu sehalus suci Dewi Surga
            Kuburlah, masa buruk..
            Tancapkan nisan, di batas birahinya

Gemuruh Baliku, Indonesiaku


Gemetar gaungan genta
Semerbak anggun harum dupa
Asap melingkar diantara mantram puja
Tatanan beda bunga,warna
Menyeruak lahir haturkan doa
           
Geliat lekukan tarian dewa
Iringi dendang  kidung angkasa
Budaya bali, etos Ramayana
Dalam Indonesia, MERDEKA !!!

Gambuh meronceng tiada
Hambar pesisir angkara
Ritatkala gaungan petir dunia
Dimensi berbeda bendera

Berjuang  akar budaya
Bermakna satu dua tiga kata
Yang abadi dalam nafas jiwa
Kiat belum merdeka !
Sudah tertutup mata
Akan nikmat dunia fana
Hilang luhur budi mulia
Indah buta indah kala
Buruk mata buruk jiwa
Canda duka canda siksa
Sedih nikmat sedih rasa
Terkurung fatamorgana
Terselip rapuh gembira
Hidup tak bernilai
Dalam raga darah merah putih murka

Fatamorgana
Tamat jiwa
Mati suka
Kubur canda
Di budayanya
Bali,Indonesia

Lahirlah kembali..

Ilalang Musim Penghujan


Kilat petir, meneteskan air mata
Bersedu sedih dalam dilema membara
Lalu jatuh tersiksa
            Ibaratkan lah –bunga ilalang- dia
            Ikuti arah angin dan suara
Musimkah ini atau bila mana kau tersenyum akan tergores pisaunya ?
           
Terkapar diranjang perjam, dibawah kelambu kusam
            Melipat diri di ujung kabang debu
            Wahai gadis, angakat martabatmu
            Julurkan langkah, sabung hidup
            Tiada guna diam
Emansipasi terus mengalir di darahmu
Hilang nikmat, dalam waktu
Jauhkan nafsu diselangkangannya
Lalu basuh muka, angkat kepala lihat kedepan
Bumi tak seburuk permainan ranjang mu…