Selasa, 13 Desember 2011

cerpen - Sebuah Lagu Jahanam untuk 46


            Mentari menyerukan langkahku pagi ini. Entah bagaimana semua berjalan dengan menyenangkan. Mulai dari menembangkan lagu kasmaran, sampai melakukan gerakan bersih-bersih dipagi hari. Mungkin hal seperti ini hanya datang sekali seumur hidupku. Setelah diterima disekolah favorit di Bali, lalu mengikuti kegiatan MOS(Masa Orientasi Siswa) hari ini pun aku ringan mengendarai motor buntutku, dikarenakan aku menjadi bagian dari SMA(Sekolah Menangah Pertama) Negeri 1 Denpasar. Nama yang selalu tersemat disanubariku SMANSA, begitu orang-orang memanggilnya.

 “Nanti sore, teman-teman kelas satu kumpul di Sekre (sapaan akrab sekretariat) jam empat sore, menggunakan pakaian latihan, kita akan berlatih drama untuk mengisi acara HUT Smansa.” Tutur Kyuu selaku kordinator latihan . Pengumaman tersebut mencerminkan bahwa aku saat ini selain menjadi bagian dari Smansa, aku juga menjadi keluarga di extrakulikuler ini. Saat ini, kegiatan perdana anggota baru Teater Angin adalah mengisi acara sebuah drama. Kakak-kakak kelas membagi kami dalam beberapa kelompok.

 “Kamu sudah buat dramanya, Lan?” Tanya Siska sembari kita menuju Sekre untuk latihan. “Wah, sudah jam empat lebih lima belas, dramanya belum selesai, bagaimana ini, Sis?” tanyaku pada Siska yang juga teman sekolompok. “Ayok! teman-teman kelas satu ikuti kordinator kelompok masing-masing, menuju kelas untuk latihan drama!” Seru Kyuu berserta teman-teman kelas dua .


                Hari ini terasa hambar, ataukah perasaanku saja? Sejak siang tadi sewaktu kumpul, tak terlihat teman-teman Teater Angin  kelas tiga yang biasanya berada disaat kita kumpul-kumpul.  Atau latihan ini terasa aneh sebab, mengapa kita yang diperkenankan untuk mengisi acara? Bukannya kelas dua, atau kelas tiga yang sudah lebih senior dari pada kami.
Latihan diawali dengan konsentrasi, guna melatih fokus kami terhadap suatu pementasan. Lalu kami memulai latihan. “Naskahnya belum selesai semua, Ndik.” Kata ku pada Andik kordinator kelompokku. “Yasudah, selesaikan saja dulu, setelah itu langsung latihan ya.” Jawabnya . Kelompok ini terdiri dari Mayun, Dera, Siska, dan Dwi. Mereka menyerahkan sebagian besar pembuatan naskah padaku, karena mereka mengetahui bahwa aku cukup berpengalaman dibidang ini. Naskah yang berjudul “Sebuah Lagu Jahanam untuk 46” Drama tersebut menceritakan tentang keindahan lagu yang kami rangkai dalam angka 46. Angka itu adalah nama angkatan kami. Karena kami adalah angkatan ke-46 . Drama, sudah terselesaikan, dan kini kami berlatih.
            Latihan drama dimulai, beberapa adegan diarahkan oleh Andik. Andik yang merupakan anggota Taeter Angin kelas dua, yang juga cukup berpengalaman dalam berteater. Kami berlatih dengan serius. Tiba-tiba disela kami latiahan terdengar suara perkelahian, suara itu berasal dari kelas sebelah yang digunakan berlatih oleh kelompok lain. Beberapa menit kemudian seseorang tinggi, berbaju hitam dengan rambut cepak masuk kelas kami, dia Gung Wah Ketua Teater Angin. “Ada apa ini? mengapa kalian latihan tanpa memberitahu kelas tiga? Apakah kelas tiga sudah tidak dianggap?! Aku sebagai ketua merasa tidak dihargai!” Kata Gung Wah dengan nada besar. Kemarahan Gung Wah, juga terjadi pada teman-teman kelas tiga yang lain. “Maaf Gung, kami tidak ada maksud seperti itu.” Sahut Andik. Sontak aku dan teman-teman kelompok ku merasa tertekan. Kami tidak bisa berbuat apa, kami hanya diam termenung. Kami tidak tahu maslah yang sebenarnya.
            Semakin malam, pertengkaran semakin menjadi. Kami kelas satu digiring menuju lapangan tenis. Disinilah pertengkaran antara kelas dua dan kelas tiga memuncak. Ibarat perang di Kurusetra. Mereka saling mencibir, dan memaki. Kami tetap tak berkutik. “Diam semua!” Seru lelaki kacamata. Itu adalah Wungsu alumnus Teater Angin yang kini sudah mengeyam pendidikan di universitas. “Diam kalian semua! Kami datang kemari untuk lancong ke Smansa, tapi kenapa malah begini? Dimana kebersamaan Teater Angin yang dulu? Sudah! Lebih baik Teater Angin dibubarkan!” Ungkap Mey menimpali . Tidak kami sadari, alumnus memadati lapangan, begitu pula warga Smansa yang bergerumun ingin menyaksikan pertarungan ini. Kami kelas satu tentu kaget, dan histeris, melihat pertarungan sengit. Dan kata-kata Mey alumnus itu melumpuhkan impian kami mengembangkan bakat didunia teater.
“Kalian kelas satu cepat buat lingakaran! Pegang erat tangan teman kalian. Sekarang kalian renungkan, teater yang baru. Karena Teater Angin sudah wafat!” Wungsu kembali mengambil alih suasana. Kami bergegas membuat lingkaran dan memegang erat tangan satu sama lain. Teman- teman kelas dua dan kelas tiga sudah bubar dari bertarungan. Entah mereka kemana. Kami sangat khawatir. “Mengapa kalian menangis, simpan air mata itu untuk membuat teater yang baru” . Tambah Wungsu. Sontak tangis kami semakin menjadi. “Tutup mata kalian, dan ucapkan dengan keras “Satu Lepas Semua Bubar” pegang erat tangan teman kalian, jangan sampai lepas!” Imbuh Mey. Dengan nada lantang, kami berteriak satu lepas semua bubar. Dengan nada keras, seolah kami ingin malam yang begitu jahanam ini hanyalah mimpi buruk yang sebentar lagi usai. Air mata kami semakin deras. Genggaman kami semakin erat. Malam mencakam.
Ditengah hingar bingar suara keras kami, tiba- tiba suasana menjadi terkendali. Sepi, sunyi. Telinga ku mendengar petikan gitar. Semakin lama, semakin mendekat, dan semakin terdengar jelas. Yah, itu lagu Tentang Angin. Lagu itu adalah lagu yang kami sering nyanyikan di Sekre. Mendengar lagu itu kami membuka mata, lalu mencari sumber suara, yang tepat di belakang kami. Kelas dua, tiga, beserta alumnus turut menyanyikan lagu itu. Prily, anggota Teater Angin kelas dua membawa kue yang dipenuhi lilin berangka 46 sesuai dengan angkatan kami . “Ayo! semua tiup lilinnya.” Kata Prily, kami meniup lilin, bersama dengan perasaan haru, dan senang.
Ini hanyalah sebuah skenario atau surprise untuk anggota baru, sekaligus merayakan hari jadi Teater Angin ke-46. Sungguh, pengalaman yang istimewa, kebersamaan kami anggota baru, diuji dalam acara Malam Jahanam ini. Yah, inilah kebersamaan dan makan yang menjadi motto Teater Angin. Lagu Tentang Angin tersebut sangat bermakna bagi kami anggota baru. Lagu yang menutup Malam Jahanam dengan manis. Malam Jahanam yang khusus tertuju untuk angkatan 46. Inilah yang menjadi cikal bakal kebersamaan kami. Kami menyebut peristiwa ini “Lagu Jahanam untuk 46” Sesuai judul drama ku. Kelak kami kan membawa nama Teater Angin agar tetap bisa mengharumkan nama Smansa diseluruh jagat semesta .

Diwaktu tengah malam ketika angin berhembus, pasti disanalah kita terlahirkan…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar