Mentari menyerukan langkahku pagi ini. Entah bagaimana semua berjalan dengan menyenangkan. Mulai dari menembangkan lagu kasmaran, sampai melakukan gerakan bersih-bersih dipagi hari. Mungkin hal seperti ini hanya datang sekali seumur hidupku. Setelah diterima disekolah favorit di Bali, lalu mengikuti kegiatan MOS(Masa Orientasi Siswa) hari ini pun aku ringan mengendarai motor buntutku, dikarenakan aku menjadi bagian dari SMA(Sekolah Menangah Pertama) Negeri 1 Denpasar. Nama yang selalu tersemat disanubariku SMANSA, begitu orang-orang memanggilnya.
“Nanti sore, teman-teman kelas satu kumpul di Sekre (sapaan akrab sekretariat) jam empat sore, menggunakan pakaian latihan, kita akan berlatih drama untuk mengisi acara HUT Smansa.” Tutur Kyuu selaku kordinator latihan . Pengumaman tersebut mencerminkan bahwa aku saat ini selain menjadi bagian dari Smansa, aku juga menjadi keluarga di extrakulikuler ini. Saat ini, kegiatan perdana anggota baru Teater Angin adalah mengisi acara sebuah drama. Kakak-kakak kelas membagi kami dalam beberapa kelompok.
“Kamu sudah buat dramanya, Lan?” Tanya Siska sembari kita menuju Sekre untuk latihan. “Wah, sudah jam empat lebih lima belas, dramanya belum selesai, bagaimana ini, Sis?” tanyaku pada Siska yang juga teman sekolompok. “Ayok! teman-teman kelas satu ikuti kordinator kelompok masing-masing, menuju kelas untuk latihan drama!” Seru Kyuu berserta teman-teman kelas dua .
Hari ini terasa hambar,
ataukah perasaanku saja? Sejak siang tadi sewaktu kumpul, tak terlihat teman-teman
Teater Angin kelas tiga yang biasanya
berada disaat kita kumpul-kumpul. Atau
latihan ini terasa aneh sebab, mengapa kita yang diperkenankan untuk mengisi
acara? Bukannya kelas dua, atau kelas tiga yang sudah lebih senior dari pada
kami.
Latihan
diawali dengan konsentrasi, guna melatih fokus kami terhadap suatu pementasan.
Lalu kami memulai latihan. “Naskahnya belum selesai semua, Ndik.” Kata ku pada
Andik kordinator kelompokku. “Yasudah, selesaikan saja dulu, setelah itu langsung
latihan ya.” Jawabnya . Kelompok ini terdiri dari Mayun, Dera, Siska, dan Dwi.
Mereka menyerahkan sebagian besar pembuatan naskah padaku, karena mereka
mengetahui bahwa aku cukup berpengalaman dibidang ini. Naskah yang berjudul
“Sebuah Lagu Jahanam untuk 46” Drama tersebut menceritakan tentang keindahan
lagu yang kami rangkai dalam angka 46. Angka itu adalah nama angkatan kami.
Karena kami adalah angkatan ke-46 . Drama, sudah terselesaikan, dan kini kami
berlatih.
Latihan drama dimulai, beberapa adegan
diarahkan oleh Andik. Andik yang merupakan anggota Taeter Angin kelas dua, yang
juga cukup berpengalaman dalam berteater. Kami berlatih dengan serius.
Tiba-tiba disela kami latiahan terdengar suara perkelahian, suara itu berasal
dari kelas sebelah yang digunakan berlatih oleh kelompok lain. Beberapa menit
kemudian seseorang tinggi, berbaju hitam dengan rambut cepak masuk kelas kami,
dia Gung Wah Ketua Teater Angin. “Ada apa ini? mengapa kalian latihan tanpa
memberitahu kelas tiga? Apakah kelas tiga sudah tidak dianggap?! Aku sebagai
ketua merasa tidak dihargai!” Kata Gung Wah dengan nada besar. Kemarahan Gung
Wah, juga terjadi pada teman-teman kelas tiga yang lain. “Maaf Gung, kami tidak
ada maksud seperti itu.” Sahut Andik. Sontak aku dan teman-teman kelompok ku
merasa tertekan. Kami tidak bisa berbuat apa, kami hanya diam termenung. Kami
tidak tahu maslah yang sebenarnya.
Semakin
malam, pertengkaran semakin menjadi. Kami kelas satu digiring menuju lapangan
tenis. Disinilah pertengkaran antara kelas dua dan kelas tiga memuncak. Ibarat
perang di Kurusetra. Mereka saling mencibir, dan memaki. Kami tetap tak
berkutik. “Diam semua!” Seru lelaki kacamata. Itu adalah Wungsu alumnus Teater
Angin yang kini sudah mengeyam pendidikan di universitas. “Diam kalian semua!
Kami datang kemari untuk lancong ke Smansa, tapi kenapa malah begini? Dimana
kebersamaan Teater Angin yang dulu? Sudah! Lebih baik Teater Angin dibubarkan!”
Ungkap Mey menimpali . Tidak kami sadari, alumnus memadati lapangan, begitu
pula warga Smansa yang bergerumun ingin menyaksikan pertarungan ini. Kami kelas
satu tentu kaget, dan histeris, melihat pertarungan sengit. Dan kata-kata Mey alumnus
itu melumpuhkan impian kami mengembangkan bakat didunia teater.
“Kalian
kelas satu cepat buat lingakaran! Pegang erat tangan teman kalian. Sekarang
kalian renungkan, teater yang baru. Karena Teater Angin sudah wafat!” Wungsu
kembali mengambil alih suasana. Kami bergegas membuat lingkaran dan memegang
erat tangan satu sama lain. Teman- teman kelas dua dan kelas tiga sudah bubar
dari bertarungan. Entah mereka kemana. Kami sangat khawatir. “Mengapa kalian
menangis, simpan air mata itu untuk membuat teater yang baru” . Tambah Wungsu.
Sontak tangis kami semakin menjadi. “Tutup mata kalian, dan ucapkan dengan keras
“Satu Lepas Semua Bubar” pegang erat tangan teman kalian, jangan sampai lepas!”
Imbuh Mey. Dengan nada lantang, kami berteriak satu lepas semua bubar. Dengan
nada keras, seolah kami ingin malam yang begitu jahanam ini hanyalah mimpi
buruk yang sebentar lagi usai. Air mata kami semakin deras. Genggaman kami
semakin erat. Malam mencakam.
Ditengah
hingar bingar suara keras kami, tiba- tiba suasana menjadi terkendali. Sepi,
sunyi. Telinga ku mendengar petikan gitar. Semakin lama, semakin mendekat, dan
semakin terdengar jelas. Yah, itu lagu Tentang Angin. Lagu itu adalah lagu yang
kami sering nyanyikan di Sekre. Mendengar lagu itu kami membuka mata, lalu
mencari sumber suara, yang tepat di belakang kami. Kelas dua, tiga, beserta
alumnus turut menyanyikan lagu itu. Prily, anggota Teater Angin kelas dua
membawa kue yang dipenuhi lilin berangka 46 sesuai dengan angkatan kami . “Ayo!
semua tiup lilinnya.” Kata Prily, kami meniup lilin, bersama dengan perasaan
haru, dan senang.
Ini
hanyalah sebuah skenario atau surprise
untuk anggota baru, sekaligus merayakan hari jadi Teater Angin ke-46. Sungguh,
pengalaman yang istimewa, kebersamaan kami anggota baru, diuji dalam acara
Malam Jahanam ini. Yah, inilah kebersamaan dan makan yang menjadi motto Teater
Angin. Lagu Tentang Angin tersebut sangat bermakna bagi kami anggota baru. Lagu
yang menutup Malam Jahanam dengan manis. Malam Jahanam yang khusus tertuju
untuk angkatan 46. Inilah yang menjadi cikal bakal kebersamaan kami. Kami menyebut
peristiwa ini “Lagu Jahanam untuk 46” Sesuai judul drama ku. Kelak kami kan
membawa nama Teater Angin agar tetap bisa mengharumkan nama Smansa diseluruh
jagat semesta .
Diwaktu tengah malam ketika angin
berhembus, pasti disanalah kita terlahirkan…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar